Seputar Wanita Indonesia

Selamat Datang di Blog Wanita Indonesia Seutuhnya

Selasa, 25 Oktober 2011

Paku

PAKU

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan kepada anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang setiap kali dia marah.

Hari pertama anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar setiap kali dia marah. Lalu secara bertahap jumlah itu berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan paku di pagar.

Akhirnya tibalah hari di mana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku untuk setiap hari di mana dia tidak marah.

Hari-hari berlalu, dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya ke pagar. “Hmm...kamu telah berhasil dengan baik anakku. Tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini! Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu meninggalkan bekas seperti lubang ini...di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak peduli berapa kali kamu meminta maaf, luka itu akan tetap ada... dan luka akan kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik.”


Renungan


Sifat pemarah yang dimiliki manusia memang sulit untuk dihindari. Ada rasa puas dalam hati ketika kita melampiaskan kemarahan tanpa berfikir bagaimana perasaan orang yang menerima kemarahan itu. Kemarahan seseorang dapat menghilangkan akal sehatnya. Berbagai cara dilakukan untuk dapat menyampaikan kemarahannya.

Apa yang menyebabkan orang menjadi marah? Dalam pola pikir si pemarah, mungkin orang itu sudah membuatnya kesal, mungkin juga orang itu tidak sengaja untuk membuatnya marah. Terkadang, si pemarah ini beranggapan bahwa “kamu” (yang menjadi korban), tidak sejalan dengan pola pikir “ku” (si pemarah). Ada unsur pemaksaan dari “aku” menuntut “kamu” untuk mengikuti kehendakku. Selain itu, yang menjadi penyebab kemarahan juga terjadi karena si “kamu” telah menginjak harga diri si “aku”. Itu benang merah yang menyebabkan seseorang menjadi marah.

Sifat pemarah ini, jika dikatakan merugikan orang lain, jawabannya adalah YA. Seperti halnya yang telah diuraikan dalam cerita “PAKU” di atas. Ada lubang-lubang sakit hati yang sulit untuk pulih kembali seperti semula. Dengan mudah si “aku” meminta maaf”, tetapi si “kamu”? bagaimana perasaannya ketika itu? Apakah dia bisa melupakan saat di mana si “aku” meluapkan kemarahannya? Jelas, tanggapan dari masing-masing orang akan berbeda-beda.

Jika kita sudah mengetahui latar belakang dan akibatnya, apa yang harus kita lakukan?

Menurut kacamata wanita-wanita Indonesia, yang harus kita lakukan adalah pertama, mencoba menempatkan posisi kita di posisi orang lain. Ketika kita meluapkan kemarahan terhadap orang lain, kita bisa mengetahui apa yang dirasakan oleh orang tersebut. Kedua, memikirkan apa akibat yang ditimbulkan dari kemarahan itu sendiri. Apakah dapat membuat malu diri sendiri atau orang lain? Apakah dapat menimbulkan sakit hati untuk diri sendiri atau orang lain?

Baiknya kita selalu menaburkan KASIH bukan kemarahan sehingga tidak meninggalkan lubang-lubang sakit hati bagi sesama kita. Tuhan Memberkati.

Sumber: Cerita Iman dan Inspirasi Nyata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar